MAKALAH FILSAFAT DAKWAH "Klasifikasi Mad'u dan Pilihan Metode"
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
NIA DARMAWATI
NIA DARMAWATI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setelah pemaparan bahwa setiap manusia adalah mad’u, yaitu pihak yang diseru ke jalan Allah, maka perbincangan mengenai klasifikasi mad’u tidak bisa lepas dari pengklasifikasian manusia dalam keterkaitannya dengan dakwah. Sebut saja, dakwah dalam proses menyosialisasikan dan mewujudkan kebenaran, maka klasifikasi mad’u merupakan sebuah proses pengidentifikasian perkelompok manusia dalam menerima kebenaran itu.
Secara mrndasar, klasifikasi mad’u ini tidak ada hubungannya dengan memetak-metakan kelompok atau pengkastaan golongan manusia atas manusia lainnya. Lebih dari itu, pengklasifikasian mad’u memiliki maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang karakter-karakter yang khas dimiliki oleh suatu kelompok mad’u tertentu yang tidak terdapat pada lainnya.
Rumusan Masalah
Apa Saja Klasifikasi Mad’u Menurut Sikapnya Terhadap Dakwah?
Apa Saja Pengelompokkan Mad’u Berdasarkan Antusiasnya Kepada Dakwah?
Apa Saja Pengelompokkan Mad’u Berdasarkan Kemampuannya Menangkap Pesan Dakwah?
Bagaimana Kategori Mad’u Menurut Kayakinannya?
Apa dan Bagaimana Metode Hikmah?
Apa Itu Mau’izhah Hasanah ?
Apa dan Bagaimana Debat yang Terpuji (al-Jadal al-Hasna)?
Apa dan Bagaimana Tindakan Balasan yang Setimpal (Iqabah bi al-Mitsl)?
BAB II
PEMBAHASAN
Klasifikasi Mad’u
Pengklasifikasian mad’u ini sangat berguna untuk menentukan pilihan metode dakwah yang tepat sasaran (efektif dan efisien). Objek dakwah di sini digolongkan menurut empat kategori, diantaranya:
Klasifikasi Mad’u Menurut Sikapnya
Pakar dakwah Abdul Karim Ziadan dalam buku Ushul al-Dakwah, mengelompokan manusia dalam empat kategori berdasarkan sikap dakwahnya. Diantaranya:
Al-mala'
Dalam Al-Qur'an, secara terminologi al-mala' digunakan untuk arti kelompok sosial yang berstatus sebagai pemuka masyarakat (asyraf al qaum), pemimpin masyarakat (ru'usahum), atau yang memiliki wewenang atas masyarakat (sadatuhum).
Berikut adalah karakteristik kelompok mad'u ini dalam kaitan sikapnya terhadap kebenaran dakwah:
Kelompok al-mala adalah kaum eksekutif yang memiliki pengaruh besar terhadap dakwah apabila mereka beriman, karena mereka memiliki kemampuan untuk mengakomodasi massa dan memiiki pengaruh besar dalam membentuk opini public. Masuk kelompok ini adalah pemuka politik yang bereperan besar untuk menggalang kekuatan massa dan pemuka agama yang memiliki pengaruh dalam pembentukan opini public dan sikap keagamaan masyarakat.
Karena kelompok al-mala memiliki posisi yang istimewa, maka kelompok ini cenderung subjektif dan dipengaruhi oleh rasa gengsi yang teramat tinggi sehingga memiliki kecenderungan antipati terhadap kebenaran yang disampaikan dai, apalagi jika yang menyampaikannya adalah orang yang dipandang tidak memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Ini merupakan sisi negative kelompok mad’u ini.
Meskipun begitu, kelompok al-mala ini merupakan aset penting dalam dakwah, karena kelompok ini merupakan panutan dan sumber rujukan orang banyak.
Sikap represif, kooperatif, atau setengah hati kelompok al-mala, sangat terkait erat dengan kepentingan subjektif dan hubungan mereka dengan dai karena mereka adalah kelompok yang mempertahankan status quo dalam masyarakat. Mereka bersikap repsesif jika mereka memandang kebenaran dakwah dapat membahayakan status quo-nya. Ketika kebenaran dakwah dinilai sebagai suatu hal yang sekunder dan komplementer, maka sikapnya berubah menjadi setengah hati. Mereka juga akan menyambut dakwah dengan penuh antusias dan kooperatif jika dirasa kebenaran dakwah itu dapat mengukuhkan statusnya dan menunjang kepentingannya.
Jumhur al-nas
Secara bahasa, jumhur al-nas berarti kelompok mayoritas, merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat. Mereka umunya terdiri dari kaum lemah yang merupakan lapisan terbesar dalam suatu masyarakat. Dalam bahasa Indonesia jumhur al-nas setara dengan rakyat jelata. Meskipun sebagai mayoritas mereka adalah orang yang selalu berada di bawah kewenangan penguasa (al-mala').
Dari sudut historis, mayoritas manusia yang merupakan kaum lemah secara faktual adalah mereka yang paling simpatik dan cepat menerima seruan dakwah para rasul. Dari sudut psikologis, mayoritas manusia terdiri dari kaum fakir-miskin, dan orang-orang lemah adalah mereka yang selalu berjuang melawan penindasan dan kesewenang-wenangan penguasa kaun elite. Dalam kondisi seperti itu secara kejiwaan mereka senantiasa mendambakan tampilnya sosok berwibawa yang memiliki ketulusan untuk bersama-sama memperjuangkan nasib mereka. Sementara kehadiran rasul dan dakwahnya yang membawa muatan ajaran-ajaran pembebasan dan persamaan, mampu membangkitkan optimisme dan melahirkan harapan-harapan sebagai modal untuk memperjuangkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Disamping potensi positif dari mayoritas manusia yang tanggap dakwah, mereka juga memiliki potensi negatif yang ditengarai juga mampu menghambat akselerasi dakwah. Seperti diketahui, mayoritas manusia adalah kaum lemah, baik dalam arti fisik maupun intelektual. Secara psikis, mereka juga dikenal sebagai kelompok yang merindukan sosok "ratu adil" atau "pahlawan" yang bersimpatik kepada nasib mereka dan bersedia memperjuangkan kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Nah, dalam kondisi tersebut terkadang dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan yang mengatas namakan kelompok mayoritas untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Al-munafiqun
Menurut Al-Ashfahany, kemunafikan adalah suatu sikap keagamaan yang timpang alias tidak utuh, yaitu menerima agama dari satu sisi, tetapi menolaknya dari sisi yang lain (al-dukhul fi syar'i min babin wa al-khuruj anhu min babin). Kemunafikan juga dianalogikan sebagai lubang tikus, dari luar memang tidak kelihatan, namun dari dalam menggerogoti iman secara perlahan-lahan. Dengan demikian, seseorang bisa disebut munafik jika keislamannya hanya sebatas formalitas, yakni sekedar untuk memperoleh pengakuan dari golongannya.
Dari perspektif al-Qur'an, pertama-tama yang diperlu kita pahami adalah fakta bahwa munafik dan kemunafikan tidak lepas dari konteks ayat-ayat Madinah. Al-Qur'an mendeskripsikan munafiqun sebagai kelompok orang yang secara eksplisit mengakui kerasulan Nabi Muhammad, namun pengakuan tersebut dilaksanakan secara terpaksa, yakni sebagai tameng demi menjaga harta dan nyawa mereka dari ketentuan kaum muslimin.
Fakta kemunculan kelompok munafik dilatar belakangi oleh motif politis yang kemudian berkembang menjadi persoalan agama. Hal ini, karena antara risalah yang dibawa Rasulullah dan politik yang dijalankanya sebagai alat pendukung kesuksesan dakwah, sangatlah erat dan tidak bisa dipishkan antara satu dan yang lainnya, sehingga untuk menguasai Rasulullah dan mencapai tujuannya, orang-orang munafik merasa perlu (pura-pura) beriman dan mengikuti risalah islam walaupun terpaksa. Karena kedekatan politik dan risalah itu pula, penghianatan dari segi politik ditengarai akan menjadi ancaman bagi kelangsungan risalah dakwah. Dari penjelasan ini kemudian diperoleh kejelasan alasan dibalik kecaman keras wahyu atas kaum munafik yang ketika itu bukan hanya menjadi polemik politik, tetapi sudah menyentuh persoalan agama.
Kelompok Pelaku Maksiat (al-'Usat)
Kata al-'usat merupakan bentuk jamak (plural) dari kata 'asin, berarti pendurhaka, adalah orang yang suka melakukan dosa dan maksiat. Mereka adalah orang-orang yang diakui memiliki komitmen terhadap keyakinan fundamental Islam, namun keyakinan ini tidak mampu diimplementasikan dalam realitas kehidupan. Lebih dari itu, bahkan kerap kali menunjukan prilaku yang berlawanan dengan apa yang diyakininya itu. Maksiat dapat terjadi, dalam kondisi seseorang dimana vested interest lebih kuat kecenderungannya dari pada komitmen transdentalny. Kewajiban dai adalah menunjukan sikap bersahabat (al-Isyfaq) dan membimbingnya dengan sabar serta welas asih (rahmat), seperti halnya membimbing orang yang berjalan di pinggir jurang dalam malam yang gelap gulita, dan bukan menyudutkan dan caci maki.
Pengelompokan Mad’u Berdasakan Antusiasnya Kepada Dakwah
Sikap mad’u terhadap seruan dakwah, al-Qur’an menyebut tiga kelompok mad’u yaitu:
Kelompok yang bersegera dalam menerima kebenaran (al-sabiquna bi al-khairat)
Kelompok ini menurut pakar tafsir Wahbah al-Zuhayli yaitu golongan mad’u yang cenderung antusias pada kebaikan dan tanggap terhadap seruan-seruan dakwah baik wajib maupun sunah. sebaliknya mereka amat takut mengerjakan hal yang diharamkan oleh agama, dan berusaha menghindari yang dimakruhkan atau malah hal yang masih dibolehkan (mubah).
Kelompok pertengahan (muqtasid)
Menurut pakar tafsir Wahbah al-Zuhayli, kelompok ini adalah golongan pertengahan, mengerjakan hal yang wajib dan meninggalkan yang haram. Namun dalam waktu yang bersamaan mereka kerap kali melakukan hal yang makruh dan kurang tanggap dalam kebaikan yang sunnah.
Kelompok yang menzalimi sendiri (zhalim linafsih)
Kelompok yang terakhir cenderung mengabaikan hal yang wajib dan kerap melakukan larangan-larangan agama. Menurut Biqa’I justru kelompok ini yang paling banyak ditemukan.
Pengelompokan Mad’u Berdasarkan Kemampuannya Menangkap Pesan Dakwah
Adapun pengelompokan mad’u berdasarkan kemampuannya dalam menangkap pesan dakwah dalam hal ini filsuf kenamaan Ibn Rusyd membagi dalam tiga kelompok.
ahl al-burhan
Kelompok ini yang sering bersinggungan dengan kebenaran dikarenakan pengetahuannya yang mendalam. Dalam kedudukan sosialnya mereka merangkap mad’u sekaligus dai. Kelompok ini seperti para dai, sarjana, pemikir, dan ilmuwan.
ahl al-jidal
Kelompok ini, manusia yang tidak mampu mengidentifikasi kebenaran kecuali setelah melewati proses dialetik dan sintesis atau dialog melalui adu argumentasi. Dengan kata lain kelompok ini seseorang yang sedang mencari hakikat kebenaran.
ahl al-kitab
Kelompok ini memiliki pemahaman yang rendah dan tidak tertarik dengan pendekatan dialektis dan belum mampu memahami hakikat terdalam agama. Untuk itu caara menasihati yang baik dalam menyampaikan pesan dakwah.
Kategori Mad’u menurut keyakinannya
Dalam al-Qur’an, non muslim dalam artian mereka yang tidak mengimani Muhammad sebagai Rasul, juga digolongkan dalam banyak kelompok, misalnya ahl al-kitab, musyrikun, dan kafirun. Menurut Abdul Moqsith Ghazali. Kelompok musyrikun mewakili kaum pagan Qurasih yang tdak mengimani Muhammad sebagai Rasul dan tidak memiliki pegangan kitab suci pun. Sedangkan kelompok kafirun merupakan kelompok yang gemar menutup-nutupi kebenaran dan memutar balikan fakta dari golongan musyrikin maupun ahl al-kitab (ahl al-kitab yang dimaksud sekelompok agama di dunia yang memiliki kitab suci dan tidak terbatas pada penganut Nasrani dan Yahudi). Pandangan al-Qur’an tentang kelompok ahl al- kitab Maqisith menjelaskan, adalah lebih positif ketimbang pandangan al-Qur’an tentang musyrikun
Mad’u dan Pilihan Metode
Metode dakwah bersifat dinamis dan kontekstual, sesuai dengan karakter objek yang sedang dihadapi. Kitab suci Al-Qur’an telah mengariskan nilai-nilai universal terkait dengan metode atau langkah dakwah sebagaimana yang tertera dalam Q.S An-Nahl: 125-126
(((((( (((((( ((((((( ((((((( (((((((((((((( (((((((((((((((( (((((((((((( ( (((((((((((( ((((((((( (((( (((((((( ( (((( (((((( (((( (((((((( ((((( (((( ((( (((((((((( ( (((((( (((((((( ((((((((((((((((( ((((( (((((( ((((((((((( (((((((((((( (((((((( ((( (((((((((( ((((( ( ((((((( (((((((((( (((((( (((((( (((((((((((((( (((((
125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
126. Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
Metode Hikmah
Ditinjau dari terminology hikmah merujuk kepada pengertian ketepatan berkata dan bertindak serta memperlakukan sesuatu secara bijaksana.
Menurut Al-Qahtany, hikmah dalam konteks metode dakwah tidak dibatasi hanya dalam bentuk dakwah dengan ucapan yang lembut, taghrib (nasihat motivasi), kelembutan, dan amnesty, seperti yamg selama ini dipahami orang. Lebih dari itu, hikmah sebagai metode dakwah juga meliputi seluruh pendekatan dakwah dengan kedalaman rasio, pendidikan, nasihat yang baik, dialog yang baik pada tempatnya, juga dialog dengan para penentang yang zalim pada tempatnya, hingga meliputi kecaman, ancaman, dan kekuatan senjata pada tempatnya. Dari sini diperoleh pemahaman bahwa pendekatan hikmah adalah induk dari semua metode dakwah yang intinya menekankan atas ketepatan pendekatan terkait dengan kelompok mad’u yang dihadapi.
Bagi al-Qahtany, ada tiga hal yang menjadi tiang dakwah dengan hikmah, yakni 1)Dakwah hikmah dengan ilmu, berarti mengerti tentang seluk-beluk syariat dan dasar-dasar keimanan di samping perlu juga memahami ilmu-ilmu inovasi yang dapat memperdalam keimanan mad’u. 2)Dakwah hikmah dengan kesantunan, adalah suatu bentuk pendekatan dakwah yang mengambil jalan tengah antara dua titik ekstrem, emosional dan kepandiran. Seorang yang berdakwah dengan hikmah, kata al-Qahtany, mampu mengendalikan emosinya yang berlebihan dihadapan mad’u sehingga ia tidak kehilangan kemampuannya untuk memikirkan atau menilai sesuatu tanpa dasar rasional. 3)Dakwah hikmah dengan kedewasaan berpikir menghendaki pendekatan yang matang dalam menyampaikan dakwah, tidak tergesa-gesa yang membuat dai berbuat serampagan tanpa perhitungan.
Metode dakwah ini sangat cocok dengan mereka yang termasuk kelompok cendikiawan dan para pemuka masyarakatnya, baik kelompok ulama, maupun pemimpin politknya.
Mau’izhah Hasanah
Pendekatan dakwah ini dilakukan dengan perintah dan larangan disertai dengan unsur motivasi (targhib) dan ancaman (tarhib) yang diutarakan lewat perkataan yang dapat melembutkan hati, menggungah jiwa, dan mencairkan segala bentuk kebekuan hati, serta dapat menguatkan keimanan dan petunjuk yang mencerahkan. Pendekatan ini terdiri dalam bentuk pengajaran dan pembinaan. Dalam bentuk pengajaran dilakukan dengan menjelaskan keyakinan tauhid disertai pengamalan implikasinya dari hukum syariat yang lima yakni wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. Adapun dalam bentuk pembinaan yaitu dilakukan dengan penanaman moral dan etika serta menjelaskan efek dan manfaatnya dalam kehidupan bermasyarakat, disamping menjauhkan mereka dari perangai-perangai tercela yang dapat menghancurkan kehidupan.
Agar metode ini tepat sasaran, harus memerhatikan lima hal ini. Pertama, memerhatikan dengan seksama jenis kemungkinan yang berkembang sesuai konteks waktu dan tempat. Kedua, mengukur skala prioritas kemungkaran yang mesti lebih dahulu ditangani sesuai derajat kerusakannya di masyarakat. Ketiga,memikirkan efek yang ditimbulkan dari segi psikis, sosial, kesehatan hingga financial. Keempat, menghadirkan argumentasi agama terkait dengan efek kemungkaran. Kelima, jika mau nasiahat-nasihat ini dapat didokumentasikan dalam bentuk tulisan bertema yang mengupas bahaya suatu kemungkaran dalam hidup manusia serta motivasi mereka untuk bertobat.
Debat yang Terpuji (al-Jadal al-Husna)
Pendekatan dakwah ini dilakukan dengan dialog yang berbasis budi pekerti yang luhur, tutur kalam yang lembut, serta mengarah kepada kebenaran yang disertai argumentasi demonstrative rasional dan tekstual sekaligus, dengan maksud menolak argument batil yang dipakai lawan dialog. Debat yang terpuji dalam dakwah tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri. Ia lebih ditujukan sebagai wahana untuk mencapai kebenaran dan petunjuk Allah SWT. Dakwah melalui pendekatan ini sangat tepat diterapkan kepada kelompok mad’u yang masih dalam pencarian kebenaran, tetapi bukan termasuk kelompok awam termasuk juga untuk orang-orang non muslim yang bersahabat.
Dialog terpuji ini pertama kali dimaksudkan bukan untuk mengajak mereka beriman, tetapi untuk hidup damai berdampingan dengan umat islam dan bersama mewujudkan kehidupan yang manusiawi dan beradab. Namun, jika dalam proses pencarian kesepakatan itu mereka ternyata membuka hati dan menerima hidayah islam itu adalah sangat baik, tetapi jika mereka sebatas sepakat saja tanpa beriman, mereka tidak boleh dipaksa dengan alasan apapun, karena Allah Maha Mengetahui siapa yang menyimpang dari jalan Nya dan siapa yang mendapat petunjuk.
Kategori mad’u munafik yang diperlakukan sebagai muslim juga didekati melalui metode ini. Metode ini dimaksudkan untuk mempertegas kebenaran yang masih mereka sangsikan serta mengikis kepura-puraan beragama. Dengan begitu, diharapkan mereka tidak lagi menjadi beban bagi dakwah islam atau tidak lagi menjadi musuh dalam selimut.
Tindakan Balasan Setimpal (Iqabah bi al-Mitsl)
Dalam pemetaan metode dakwah, pendekatan balasan setimpal masih berada dalam lingkup dakwah bi al hikmah yang diistilahkan dengan hikmat al quwwah atau juhad qitaly (jihad perang). Maksud yang ingin dicapai dengan pendekatan dakwah ini adalah untuk menolak fitnah terhadap dakwah islam, menghadirkan kebebasan beragama, dan menumpas kesewenang-wenangan.
Pendekatan dakwah ini ditujukan untuk kelompok mad’u kafir, yaitu mereka yang gemar menutup-nutupi kebenaran, tidak kooperatif, dan tidak mau bersahabat, menghalangi dakwah dan berniat menghancurkan dan memusuhi agama, baik dari kelompok munafik maupun non muslim.
Walaupun pendekatan dakwah ini berbasis kekerasan dan ketegasan, tetapi dalam praktiknya tidak menghendaki perlakuan serampangan dengan hawa nafsu, lebih dari itu tetap diputuskan di atas hikmah dan moral islami.
Metode dakwah ini menurut al-Qahtany juga berlaku terhadap kaum muslim dalam wujud hadd dan ta’zir. Penggunaan pendekatan dakwah ini dimaksudkan untuk memperoleh stabilitas sosial dengan bertindak tegas terhadap setiap pelanggar hukum yang telah ditetapkan bersama.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengklasifikasian mad’u sangat berguna untuk menentukan pilihan metode dakwah yang tepat sasaran (efektif dan efisien). Objek dakwah di sini digolongkan menurut empat kategori, pertama sikap mad’u terhadap seruan dakwah, kedua antusias terhadap dakwah, kemampuan dalam memahami dan menangkap pesan dakwah, dan keempat, kelompok mad’u berdasarkan keyakinannya.
Metode dakwah bersifat dinamis dan kontekstual, sesuai dengan karakter objek yang sedang dihadapi. Kitab suci Al-Qur’an telah mengariskan nilai-nilai universal terkait dengan metode atau langkah dakwah sebagaimana yang tertera dalam Q.S An-Nahl: 125-126 yakni: metode hikmah, mauizhah hasanah, debat yang terpuji (al-Jadal al-Husna), dan tindakan balasan yang setimpal (Iqabah bi al0-Mitsl).
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, A. Ilyas dan Hotman, Prio. 2011. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar