Selasa, 07 Februari 2017

STUDI ISLAM

KOMPROMI DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut:
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD. Butir pertama yang berisi kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.

Penggantian kalimat butir pertama Piagam Jakarta, “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ” menjadi “ Ketuhanan Yang Maha Esa ” tidak menghilangkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi kaum muslim di Indonesia karena Meng-Esa-kan Tuhan pada hakikatnya adalah menegakkan tauhid yakni mengakui ke-Maha Kuasa-an Allah Azza wa Jalla dengan menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya.

KEDUDUKAN ISLAM DALAM NEGARA PANCASILA
Negara Indonesia memiliki dasar Negara Indonesia memiliki dasar dan ideologi Pancasila. Negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila bukanlah negara sekuler atau negara yang memisahkan antara agama dengan negara. Di sudut lain negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila juga bukan negara islam atau negara yang berdasarkan atas agama tertentu (Suhadi, 1998: 114). Negara Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan YME.
 Dengan demikian makna negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara yang memilki sifat kebersamaan, kekeluargaan dan religiusitas.
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan.
Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam adalah sebagaimana uraian berikut:
1). Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama.
2). Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam.
3). Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.

Pancasila : Jiwa kepribadian, pandangan hidup dan dasar Negara. Dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978, Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar Negara kita. Di samping itu, maka bagi kita pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia.
Tujuan pengamalan Pancasila itu sendiri tidak lain untuk mewujudkan kehidupan pribadi dan kehidupan bersama yang dicita-citakan, kehidupan yang kita anggap baik. Dan untuk merasakan kehidupan yang kita anggap baik itulah tujuan akhir dari pembangunan bangsa dan Negara kita.
Pancasila sebagai dasar negara adalah harga mati yang tidak  boleh ditawar lagi. Bukan tidak mungkin apabilaada oknum yang ingin mengganti ideology pancasila dengan yang lainnya maka akan timbul permasalahan atau kesalahan yang memecah belah eksistensi Negara kesatuan. Akhirnya Indonesia akan tercecar mejadi Negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. Untuk menghindari masalah tersebut maka penerapan hukum-hukum agama (juga hukum-hukum adat) dalam system hukum Negara menjadi urgen untuk diterapkan. Indonesia awalnya merupakan kumpulan kerajaan yang berbasis agama dan suku. Pancasila yang diperjuangkan untuk mengikat agama-agama dan suku-suku itu harus tetap  mengakui jati diri dan ciri khas yang dimiliki setiap agama dan suku.
Selain hal-hal di atas, hubungan Pancasila dengan ajaran Islam juga tercermin dari kelima silanya yang selaras dengan ajaran Islam. Keselarasan masing-masing sila dengan ajaran Islam, akan dijelaskan melalui uraian di bawah ini:

Sila Ketuhanan yang Maha Esa
Esensi dari sila pertama adalah komitmen memuliakan Sang Maha Pencipta dengan sebenar-benarnya, dalam rangka menjaga keluhuran penciptaan manusia di muka bumi. Sila ini akan menjadi pintu pengabdian bagi pengamalan keempat sila lainnya dengan semangat keterpanggilan untuk mewujudkan ketaatan atas hukum-hukum kemutlakan yang menjadi keyakinan tanpa prasyarat atas nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Nilai ketuhanan yang Maha Esa jelas mengadopsi konsep bertuhan Islam, hal ini begitu jelas dan tegas Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an: “ Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa”(QS.An-Nahl [16]:22). Peletakan  ideologi  Ketuhanan  Islam dalam  sila pertama Pancasila adalah tepat mengingat bahwa Islam telah berkembang sebagai Agama Nusantara yang mewarnai kehidupan manusia sejak lama hingga kini. Penerapan ideology Islam dalam sila pertama pancasila tidaklah mengandung makna menutup hak hidup bagi pemeluk agama lainnya di Indonesia.

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Nilai Kemanusiaan adalah elemen nilai yang haarus mengandungi setiap gerak relijiusitas ajaran serta aturan agama dan budaya maupun tradisi. Sebab yang akan menjalankan tatanan bentuk apapun, dn yang menerima efek baliknya, adalah manusia itu sendiri. Sehingga tidak mungkin untuk tidak mengikut sertakan nlai kemanusiaan dalam sendi-sendi peradaban yang dibangun atas dasar agama dan kearifan majemuk budaya maupun tradisi.

Dalam konteks Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, maka islam juga turut memasukkan nilai-nilai dasarnya yaitu sifat adil yang merupakan sifat utama Allah SWT yang wajib diteladani manusia. Sifat adil dan beradab terdapat dalam Al-Qur’an: “sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pengajaran” (QS.An-Nahl [16]:90). Sifat yang wajib diteladani manusia Indonesia yang menyatakan keadilan dan keberadaban sebagai sebuah  ideologi. Ideologi manusia yang mengutamakan penghormatan dan penghargaan atas manusia setelah ia mengakui Keesaan Tuhan. Inilah penjelmaan hablum minallah dan hablum minanas dalam ideologi Pancasila.

Sila Persatuan Indonesia

Sila persatuan Indonesia (kebangsaan Indonesia) dalam pancasila pada prinsipnya menegaskann bahwa bangsa Indonesia merupakan Negara kebangsaan. Bangsa yang memiliki kehendak untuk bersatu , memiliki persatuan perangai karena perastuan nasib, bangsa yang terkait pada tanah airnya. Bangsa yang akan tetap terjaga dari kemungkinan mempunyai sifat chauvinistis.
Persatuan berasal dari kata satu yang berarti utuh tidak terpecah-pecah. Persatuan juga menyiratkan arti adanya keragaman, dalam pengertian bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologi ,politik, ekonomi sosial budaya,dan keamanan.
Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta muwujudkan perdamaian dunia yang abadi. Perwujudan persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab.
Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi sosial budaya dan keamanan. Persatuan Indonesia adalah persatuan kebangsaan Indonesia yang dibentuk atas bersatunya beragam latar belakang sosial, budaya, politik, agama, suku, bangsa, dan ideologi yang mendiami wilayah Indonesia.
Dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sila ketiga ini semua paraturan perundang-undangan harus menjamin integrasi atau keutuhan ideologi dan teritori negara dan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dapat dilihat dari ketentuan tentang pilihan bentuk negara kesatuan.
Persatuan Indonesia mengandung makna sebuah persatuan berbagai ragam bahasa, budaya, suku, dan beragam kehidupan manusia Indonesia. Inilah semangat naisonalisme Indonesia yang beragam. Pengahargaan atas keberagaman dalam persatuan dalam Islam tergambar jelas dalam firman Allah SWT: “ Wahai manusia! Sunguh, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS,Al-Hujurat[49]:13)

Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Permusyawaratan Perwakilan

Islam adalah agama yang mengetumakan kemaslahatan umat, dengan demikian menjadi logis bahwa Islam mengutamakan musyawarah dan kerjasama konstruktif untuk mencapai suatu tujuan  yang diharapkan, “ dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS.Ali-Imran[3]:159).  Bebagai pertikaian dan sengketa yang terjadi di Indonesia pada umumnya adalah sebuah cara keluar dari tekanan ekonomi yang menimpa bangsa ini. Islam bukanlah agama yang mengutamakan kepentingan pribadi semata, tetapi lebih jauh menjangkau keadilan bagi banyak pihak. Ketimpangan sosial dan ekonomi bangsa yaitu menciptakan keadlian bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Keadilan sosial berkait dengan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam  islam telah mencanangkan bentuk masyarakat yang berkeadilan. Allah SWT berfirman: “ dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”(QS. Az-Dzariyat[51]:19).

PERKEMBANGAN MASYARAKAT MUSLIM DI INDONESIA
Sejak dahulu bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah dan suka bergaul dengan bangsa lain. Oleh karena itu, banyak bangsa lain yang datang ke wilayah Nusantara untuk menjalin hubungan dagang. Ramainya perdagangan di Nusantara yang melibatkan para pedagang dari berbagai negara disebabkan melimpahnya hasil bumi dan letak Indonesia pada jalur pelayaran dan perdagangan dunia. Pada sekitar abad ke-7, Selat Malaka telah dilalui oleh pedagang Islam dari India, Persia, dan Arab dalam pelayarannya menuju negara-negara di Asia Tenggara dan Cina. Melalui hubungan perdagangan tersebut, agama dan kebudayaan Islam masuk ke wilayah Indonesia. Pada abad ke-9, orang-orang Islam mulai bergerak mendirikan perkampungan Islam di Kedah (Malaka), Aceh, dan Palembang.Waktu kedatangan Islam di Indonesia masih ada perbedaan pendapat. Sebagian ahli menyatakan bahwa agama Islam itu masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 sampai dengan abad ke-8 Masehi. Pendapat itu didasarkan pada berita dari Cina zaman Dinasti T’ang yang menyebutkan adanya orang-orang Ta Shih (Arab dan Persia) yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Ho Ling di bawah pemerintahan Ratu Sima (674).
Sebagian ahli yang lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia baru abad ke-13. Pernyataan ini didasarkan pada masa runtuhnya Dinasti Abbassiah di Bagdad (1258). Hal itu juga didasarkan pada berita dari Marco Polo (1292), berita dari Ibnu Batuttah (abad ke-14), dan Nisan Kubur Sultan Malik al Saleh (1297) di Samudera Pasai. Pendapat itu diperkuat dengan masa penyebaran ajaran tasawuf.
Terdapat berbagai pendapat pula mengenai negeri asal pembawa agama serta kebudayaan Islam ke Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa kebudayaan dan agama Islam datang dari Arab, Persia, dan India (Gujarat dan Benggala). Akan tetapi, para ahli menitikberatkan bahwa golongan pembawa Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat (India Barat). Hal itu diperkuat dengan bukti-bukti sejarah berupa nisan makam, tata kehidupan masyarakat, dan budaya Islam di Indonesia yang banyak memiliki persamaan dengan Islam di Gujarat.
Pembawanya adalah para pedagang, mubalig, dan golongan ahli tasawuf. Ketika Islam masuk melalui jalur perdagangan, pusat-pusat perdagangan dan pelayaran di sepanjang pantai dikuasai oleh raja-raja daerah, para bangsawan, dan penguasa lainnya, misalnya raja atau adipati Aceh, Johor, Jambi, Surabaya, dan Gresik. Mereka berkuasa mengatur lalu lintas perdagangan dan menentukan harga barang yang diperdagangkan. Mereka itu yang mula-mula melakukan hubungan dagang dengan para pedagang muslim. Lebih-lebih setelah suasana politik di pusat Kerajaan Majapahit mengalami kekacauan, raja-raja daerah dan para adipati di pesisir ingin melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Oleh karena itu, hubungan dan kerja sama dengan pedagang-pedagang muslim makin erat. Dalam suasana demikian, banyak raja daerah dan adipati pesisir yang masuk Islam. Hal itu ditambah dengan dukungan dari pedagang-pedagang Islam sehingga mampu melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Setelah raja-raja daerah, adipati pesisir, para bangsawan, dan penguasa pelabuhan masuk Islam rakyat di daerah itu pun masuk Islam, contohnya Demak (abad ke-15), Ternate (abad ke-15), Gowa (abad ke-16), dan Banjar (abad ke-16).
Proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia berlangsung secara bertahap dan dilakukan secara damai sehingga tidak menimbulkan ketegangan sosial. Cara penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia melalui berbagai saluran berikut ini:
Perdagangan
Dengan mempergunakan sarana pelayaran
Dakwah
Dilakukan oleh mubalig yang berdatangan bersama para pedagang. Para mubalig itu bisa jadi juga para sufi pengembara.
Perkawinan
Yaitu  melakukan perwakinan antara pedagang muslim, mubalig dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan keluarga Muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak langsung orang muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat kharisma kebangsawanan. Lebih-lebih apabila pedagang besar kawin dengan putri raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan, syahbandar, qodi, dan lain-lain.
Pendidikan
Setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim mubalig lokal, diantaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa. Selain menjadi pusat-pusat pendidikan, yang disebut pesantren, di Jawa juga merupakan markas pengemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah, raja Islam pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta, Sunan Gunung Jati, Sultan Cirebon pertama adalah didikan pesantren Gunung Jati dengan Syaikh Dzatu Kahfi, Maulana Hasanuddin yang diasuh ayahnya Sunan Gunung Jati yang kelak menjadi Sultan Banten pertama.
Tasawuf dan Tarekat
Sudah diterangkan bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula para ulama, da’i, dan sufi pengembara para ulama atau sufi itu ada yang kemudian diangkat menjadi penasihat atau pejabat agama di kerajaan. Di Aceh ada Syaikh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Abd. Rauf Singkel demikian juga kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai penasihat yang bergelar wali, yang terkenal adalah Wali Songo.

Para sufi menyebarkan Islam melalui dua cara :
Dengan membentuk kader mubalig, agar mampu mengajarkan serta menyebarkan agama Islam didaerah asalnya. Dengan demikian, Abd Rauf mempunyai murid yang kemudian menyebarkan Islam ditempat asalnya diantaranya Syaikh Burhanuddin Ulakkan, kemudian Syaikh Abd Muhyi Pamijahan Jawa Barat, Sunan Giri mempunyai murid Sultan Zaenul Abidin dari Ternate, Dato Ri Bandeng menyebarkan Islam ke Sulawesi, Bima dan Buton, Khatib Sulaiman di Minang Kabau mengembangkan Islam ke Kalimantan Timur, Sunan Prapen (ayahnya Sunan Giri) menyebarkan Islam ke Nusa Tenggara Barat.
Melalui karya tulis yang tersebar dan dibaca berbagai tempat di abad ke-17, Aceh adalah pusat perkembangan karya-karya keagamaan yang ditulis para ulama dan para sufi. Hamzah Fansuri menulis antara lain Asror Al-Arifin Fibayan Ila Al-Suluk Wa Al-Tauhid, juga syair perahu yang merupakan syair sufi. Nuruddin, ulama zaman Iskandar Tsani menulis kitab hukum Islam Shiratal Mustaqim.
Kesenian
Saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam di Jawa adalah  seni. Wali Songo, terutama Sunan Kali Jaga, mempergunakan banyak cabang seni untuk Islamisasi, seni Arsitektur, Gamelan, Wayang, Nyanyian, dan seni Busana.
Melalui saluran-saluran itu Islam secara berangsur-angsur menyebar. Penyebaran Islam di Indonesia secara kasar dapat dibagi dalam tiga tahap. Pertama, dimulai dengan kedatangan Islam, yang diikuti oleh kemerosotan demikian keruntuhan Majapahit pada abad ke 14-15. Kedua sejak datang dan mapannya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia sampai abad ke-19. Ketiga, bermula pada awal abad ke-20 dengan terjadinya “Liberalisasi” kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Dalam tahapan-tahapan itu akan terlihat proses Islamisasi sampai mencapai tingkat sampai sekarang.
Kekuasaan Politik
Penyebaran islam tidak terlepas dari dukungan yang kuat dengan para Sultan. Di Pulau Jawa , misalnya Kesultanan Demak merupakan pusat dawah dan mebjadi pelindung perkembangan islam. Begitu juga sultan-sultan lainnya di Indonesia. Meraka melakukan komunikasi, bahu membahu dan tolong menolong dalam melindungi dakwah di Indonesia.
 
PANCASILA DAN PIAGAM MADINAH
A.J. Weinsinck dan W. Montgomery Watt berkesimpulan bahwa Piagam madinah bukan hanya sebagai “perjanjian masyarakat” biasa, melainkan sebagai suatu konstitusi Negara islam. Karena itu, mereka membagi piagam tersebut menurut bab dan pasal-pasal layaknya suatu konstitusi. Piagam Madinah merupakan surat perjanjian yang dibuat pada masa Rasulullah SAW bersama dengan orang-orang Islam dan pihak lain (Yahudi) yang tinggal di Yasrib (Madinah). Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern dinilai mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern, seperti kebebasan beragama, keberagaman, multikulturalism, humanism dan hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi, dan lain-lain. Selain itu juga ditegaskan adanya suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar, dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanis (Karvallo,dkk., 1983: 11).
Melihat prinsip-prinsip pokok yang terdapat dalam Piagam Madinah, agaknya tidak berlebihan kalau Pancasila, dasar Negara Indonesia, dapat dibandingkan sekalipun tidak dapat disamakan dengan prinsip-prinsip yang dikandung Piagam Madinah. Kedudukan dan fungsi Pancasila pun bagi Umat Islam Indonesia kiranya ada persamaan. Hal ini dapat dimaklumi bahwa lahirnya Pancasila merupakan obyektifikasi Islam, yaitu penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Obyektifitas inilah yang akan menghindarkan masyarakat dari dominasi (Karim, 2004: 46). Objektivikasi berangkat dari internalisasi, inilah perbedaan objektivikasi dengan sekularisasi. Objektivikasi adalah penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Objektivikasi merupakan konkretisasi dari keyakinan internal.
Pancasila dan Piagam Madinah tidak hanya mengisyaratkan kesejajaran pada penerimaan kelompok-kelompok beragam akan nilai-nilai kemanusiaan universal, tetapi juga mengimplikasikan adanya hak dan kewajiban yang sama pada kelompok-kelompok bersangkutan untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan berbangsa. Piagam Madinah Rasulullah berimplikasi pada adanya kewajiban membela keutuhan dan pelaksanaan dari setiap penyelewengan dan penghianatan.
Sama halnya dengan apa yang telah dilakukan kaum Muslimin Madinah terhadap Piagam mereka itu, umat Islam Indonesia juga berkewajiban membela Pancasila untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan berbangsa dan bernegara,maupun dalam perincian pelaksanaannya, serta berkewajiban mempertahankan nilai kesepakatan itu dari setiap bentuk penghianatan terhadap keutuhan NKRI. Pancasila dan Piagam Madinah memiliki kesamaan sebagai Kalimah SAW atau perjanjian luhur. Pancasila merupakan perjanjian luhur seluruh bangsa untuk membangun, mencintai dan mempertahankan Indonesia. Demikian pula dengan Piagam Madinah yang disusun untuk maksud yang kurang lebih sama. Berdasarkan pemikiran di atas, sudah selayaknya jika kaum Muslim, sebagai komunitas terbesar dituntut memiliki komitmen kuat dalam pelaksanan Pancasila secara benar. Demikian pula halnya dengan dihilangkannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, tidaklah berarti sebagai kekalahan perjuangan politik umat Islam, bukan pula kita tidak setuju kalau syariah Islam tegak di bumi Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan beberapa alasan (Tobroni,dkk., 1994: 75), diantaranya:
Tokoh-tokoh yang paling intens melakukan perubahan naskah Piagam Jakarta justru dari kalangan muslim terutama; Moh. Hatta, Ki Bagus Hadikusuma dan KH. Wahid Hasyim. Ki Bagus Hadikusuma lah yang mengusulkan sila pertama dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut beliau rumusan demikian dikatakan lebih menekankan akidah tauhid, sementara rumusan dalam Piagam Jakarta lebih menekankan syari’at (Anwar, 1993: 34) dengan demikian Piagam Jakarta disusun dengan dorongan agama dan kemanusiaan.
Perubahan Piagam Jakarta menunjukkan sikap demokratis bapak bangsa yang dengan besar hati memahami kecenderungan dan keragaman yang ada. Hal itu juga menunjukkan usaha menghindari dominasi dan monolitik sektarian mayoritas. Salah satu konsekuen penting dari Pancasila, sebagaimana Piagam Madinah, ialah adanya jaminan kebebasan beragama. Prinsip beragama ini menyangkut hal-hal yang begitu rumit, karena berkaitan dengan segi-segiemosional dan perasaan mendalam kehidupan kita. Oleh karena masalah ini sangat sensitif, maka bahasa agama yang dipakai adalah bahasa universal, ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, tidak dengan redaksi ” Tegaknya Syariat Islam”, NII (Negara Islam Indonesia), atau tegaknya Khilafah Islamiyah.
Dalam Piagam Madinah, Nabi Muhammad SAW meletakkan asas-asas kemasyarakatan, antara lain adalah: al ikha’, al Musawah, al tasamuh, al tasyawur, al ta’awun dan al ‘adalah (Maryam, dkk., 2002: 39).
Al ikha’ (Persaudaraan), merupakan salah satu asas penting masyarakat Islam yang diletakkan Rasulullah. Sebelumnya bangsa Arab menonjolkan identitas danloyalitas kesukuannya, setelah masuknya Islam identitas diganti dengan identitas Islam. Atas dasar ini Rasulullah mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar. Rasul mempersaudarakan Abu Bakar dengan Haritsah bin Zait, Ja’far bin Abi Tholib dengan Muadz bin Jabal dan lain-lain. Dengan demikian keluarga-keluarga Muhajirin dan Ansor dipertalikan dengan persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaran berdasarkan nasab dan kesukuan.
Al Musawah (persamaan), yaitu bahwa manusia adalah sama keturunan nabi Adam yang diciptakan dari tanah. Berdasarkan asas ini setiap warga masyarakat memiliki hak kemerdekaan dan kebebasan (hurriyah). Rasul sangat memuji para sahabt yang memerdekakan budak-budak dari tangan orang-orang Quraisy.
Al Tasamuh (toleransi), Piagam Madinah memuat asas toleransi, dimana umat Islam siap dan mampu berdampingan dengan kaum Yahudi. Mereka mendapat perlindungan dan kebebasan dalam melaksanakan agamanya masing- masing. Asas ini dipertegas dalam al Quran surat Al Kafirun: 6.
Al Tasyawur (Musyawarah) sebagaimana diisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 159. Kendati Rasul memiliki status yang tinggi dan terhormat dalam masyarakat, beliau seringkali meminta pendapat para sahabat dalam menghadapi permasalahan- permasalahan yang berkaitan dengan urusan dunia dan sosial budaya. Pendapat para sahabat kerap kali diikuti manakala dianggap benar.
Al Ta’awun (tolong menolong). Tolong menolong sesama muslim telah dibuktikan dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshor, sedangkan dengan pihak lain sesama penduduk Madinah, isi dalam Piagam Madinah merupakan bukti kuat berkaitan denagn asas ini.
Al ‘Adalah (keadilan) berkaitan erat dengan hak dan kewajiban setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan posisi masing-masing. Prinsip ini berpedoman pada surat al Maidah ayat 8 dan surat an Nisa’ ayat 58. Asas-asas dalam Piagam Madinah tersebut, tampaknya juga terkandung dalam butir-butir dari masing-masing ke lima sila Pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penyusunannya Pancasila sangatlah dipengaruhi oleh prinsip-prinsip agama Islam. Para tokoh yang terlibat dalam pembentukan Pancasila merupakantokoh-tokoh muslim yang memiliki kapasitas keagamaan yang tinggi memahami prinsip-prinsip kenegaraan dan kemasyarakatan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Piagam Madinah. Setiap prinsip dalam lima sila Pancasila (prinsip ketuhanan, persatuan, kemanusiaan, musyawarah dan keadilan) merupakan prinsi-prinsip yang terkandung dalam Piagam Madinah yang telah dilaksanakan Rasulullah SAW dan para khalifah rasyidah dalam menjalankan pemerintahan.







Referensi
Adian, Husaini.2009 “Pancasila bukan untuk menindas Hak Kostitusional Umat Islam. Kesalahpahaman dan penyalahpahaman terhadap Pancasila 1945-2009.” Jakarta : Gema Insani Press,.
Azhary.1992.  Negara Hukum, “Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini”.  Jakarta : Bulan Bintang.
Djaelani, Abdul Qadir. 1995. “Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam”. Surabaya: Bina Ilmu.
https://mutiarazuhud.wordpress.com
Karim, Muhamad Abdul. 2004. “Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam”. Yogyakarta: Surya raya.
Sunanto, Musyrifah. 2004. “Sejarah Peradaban Islam Indonesia”. Jakarta: Rajawali F.
Suryandari. 2007. “Sejarah untuk SMA/MA Kelas XI”. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Saefudin. 2008. “Perkembangan Islam di Indonesia”. www.saefudin.info
Widjaja, A. W. 1991. “Pedoman Pokok dan Materi Perkuliahan Pancasila pada Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo.
Kansil, C. S. T. dan Kansil, Chrisine S. T. 2006. “Modul Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan”. Jakarta: Pradnta Paramita.
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014. 2012. “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”.  Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI.
Susanto, Dody. 2008. “Sekolah Terbuka Pancasila”. Jakarta: in Walk Press.
Ayusnain. 2014. “Pancasila dalam Pandangan Islam”. www.jenonculun.blogspot.co.id
Makalah Pendidikan Pancasila, “Hubungan Pancasila dan Agama”, dalam amikom.ac.id
Analisa Perbandingan, “Muatan Nilai dan Prinsip Piagam Madinah dan Pancasila”  dalam download.portalgaruda.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar